Jumat, 11 November 2011

fraktur nasal

BAB I
PENDAHULUAN


1.1    Latar Belakang
          Memang di negara ini, kasus kecelakaan lalu-lintas sangat tinggi. Kecelakaan lalu-lintas merupakan pembunuh nomor tiga di Indonesia, setelah penyakit jantung dan stroke. Menurut data kepolisian Republik Indonesia Tahun 2003, jumlah kecelakaan di jalan mencapai 13.399 kejadian, dengan kematian mencapai 9.865 orang, 6.142 orang mengalami luka berat, dan 8.694 mengalami luka ringan. Dengan data itu, rata-rata setiap hari, terjadi 40 kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan 30 orang meninggal dunia. Adapun di Sulawesi Selatan, jumlah kecelakaan juga cenderung meningkat di mana pada tahun 2001 jumlah korban mencapai 1717 orang, tahun 2002 sebanyak 2.277 orang, 2003 sebanyak 2.672 orang, tahun 2004 jumlah ini meningkat menjadi 3.977 orang, tahun 2005 dari Januari sampai September jumlah korban mencapai 3.620 orang dengan korban meninggal 903 orang.
          Trauma yang terjadi kecelakaan lalu-lintas memiliki banyak bentuk, tergantung dari organ apa yang dikenai. Trauma semacam ini, secara lazim, disebut sebagai trauma benda tumpul. Ada tiga trauma yang paling sering terjadi dalam peristiwa ini, yaitu trauma kepala, fraktur (patah tulang), dan trauma dada.
          Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh tekanan dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar daripada yang diabsorpsinya. Fraktur nasal adalah jenis trauma wajah yang paling sering terjadi. Posisinya yang berada di tengah dan proyeksi anterior pada wajah menjadi faktor predisposisi terjadinya trauma. Fraktur nasal disebabkan oleh trauma dengan kecepatan rendah. Fraktur nasal yang disebabkan oleh kecepatan yang tinggi bisa menyebabkan fraktur wajah.

1.2    Tujuan Penulisan
1.2.1   Tujuan Umum

1.2.2   Tujuan khusus
1.2.2.1        
1.2.2.2        
1.2.2.3        

1.3    Metode Penulisan
     Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode deskriptif yaitu dengan penjabaran masalah-masalah yang ada dan menggunakan studi kepustakaan dari literatur yang ada, baik di perpustakaan maupun di internet.

1.4  Sistematika Penulisan
       BAB I      : Pendahuluan
Berisikan latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan, sistematika penulisan.
BAB II    : Tinjauan Teoritis

BAB III   : Penutup
Berisikan kesimpulan dan saran

 BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1 Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontunuitas  tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk dan bahkan kontraksi otot eksterm. (Keperawatan Medikal Bedah vol. 3, Brunner dan suddarth ,2001).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Mansjoer et al, 2000).
Fraktur nasal disebabkan oleh trauma dengan kecepatan rendah. Sedangkan jika disebabkan oleh trauma kecepatan tinggi biasanya berhubungan dengan fraktur wajah biasanya Le Fort tipe 1 dan 2. Selain itu, injury nasal juga berhubungan dengan cedera leher atau kepala.
Fraktur nasal adalah fraktur pada os nasal akibat adanya ruda paksa.

2.2 Anatomi  Fisiologi Hidung
     Hidung terdiri atas bagian internal dan eksternal. Bagian ekstrnal menonjol dari wajah dan disangga oleh tulang hidung dan kartilago. Nares anterior (lubang hidung) merupakan ostium sebelah luar dari rngga hidung.
     Bagian internal hidung adalah rongga berlorong yang dipisahkan menjadi rongga hidung kanan dan kiri oleh pembagi vertikal yang sempit, yang disebut septum. Masing-masing rongga hidung dibagi menjadi tiga saluran oleh penonjolan turbinasi (juga disebut konka) dari dinding lateral. Rongga hidung dilapisi dengan membran mukosa yang sangat banyak mengandung vaskular yang disebut mukosa hidung. Lendir disekresi secara terus menerus oleh sel-sel goblet yang melapisi permukaan mukosa hidung dan bergerak ke belakang ke nasofaring oleh gerakan silia.
     Udara yang melewati kavitas nasalis dihangatkan dan dilembapkan, sehingga udara yang mencapai paru akan hangat dan lembap. Bakteri dan partikel dari polusi udara terperangkap oleh mukus; silia secara berkesinambungan mendorong mukus menuju faring. Kebanyakan mukus ini akan ditelan, dan bakteri yang ada akan dihancurkan oleh asam HCl dalam getah lambung.
     Hidung berfungsi sebagai saluran untuk udara mengalir ke dan dari paru-paru. Hidung bertanggung jawab terhadap olfaktori (penghidu) karena reseptor olfaksi terletak dalam mukosa hidung. Fungsi ini berkurang sejalan dengan pertambahan usia.
Sinus paranasalis adalah rongga udara yang terdapat dalam os maksilaris, frontalis, sfenoidalis, dan etmoidalis. Sinus ini dilapisi oleh epitel bersilia, dan mukus yang diproduksi akan dialirkan menuju kavitas nasalis. Funsi sinus paranasalis adalah meringankan tengkorak dan menciptakan resonansi untuk suara.

2.3  Jenis – jenis Fraktur Hidung
2.3.1 Fraktur hidung sederhana
Jika fraktur dari tulang hidung, dapat dilakukan perbaikan dari fraktur tersebut dengan anastesi local.
2.3.2 Fraktur Tulang Hidung Terbuka
Fraktur tulang hidung terbuka menyebabkan perubahan tempat dari tulang hidung dan disertai laserasi pada kulit atau mukoperiosteum rongga hidung.
2.3.3 Fraktur Tulang Nasoetmoid
Fraktur ini merupakan fraktur hebat pada tulang hidung, prosesus frontal pars maksila dan prosesus nasal pars frontal. Fraktur tulang nasoetmoid dapat menyebabkan komplikasi
2.4 Etiologi
Penyebab trauma nasal ada 4 yaitu:
2.4.1        Mendapat serangan misal dipukul,atau terjatuh
2.4.2        Injury karena olah raga
2.4.3        Kecelakaan (personal accident)
2.4.4        Kecelakaan lalu lintas

2.5  Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya 
Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
1.      Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2.      Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.

2.6 Manifestasi Klinis
 2.6.1    Depresi atau pergeseran tulang-tulang hidung
2.6.2        Pada perabaan dirasakan nyeri
2.6.3        Pembengkakan jaringan lunak yang berdekatan dengan hidung
2.6.4        Epistaksis
2.6.5        Krepitasi

2.7      Komplikasi
2.7.1 Deviasi hidung
Deviasi dapat terjadi pada septum nasal, tulang nasal atau keduanya.
2.7.2 Bleeding
2.7.3 Saddling
2.7.4 Kebocoran cairan serebrospinal
2.7.5 Komplikasi orbital

2.8       Pemeriksaan Penunjang
2.8.1        Oedem, hematoma, laserasi, robek atau perdarahan ( epistaksis )
2.8.2        Deformitas : cekungan atau hidung bengkok
2.8.3        Fraktur tulang (+) krepitasi ( baru )
2.8.4        Setelah 2 – 3 hari terjadi edema
2.8.5        Pemeriksaan tambahan
a.       Dari pemeriksaan rhinoskopi anterior didapatkan deformitas pada hidung, deviasi septum nasi dan nyeri tekan hidung.
b.      Dari pemeriksaan water positions, pada foto cranium anteroposterior, foto nasale lateral, didapatkan kesan fraktur os nasal dengan aposisi et alignment baik dan tidak tampak pembesaran chonca nasalis bilateral.

2.9  Penatalaksanaan
2.9.1 Tujuan Penanganan Fraktur Hidung
a.    Mengembalikan penampilan secara memuaskan
b.    Mengembalikan patensi jalan nafas hidung
c.    Menempatkan kembali septum pada garis tengah
d.   Menjaga keutuhan rongga hidung
e.    Mencegah sumbatan setelah operasi, perforasi septum, retraksi kolumela, perubahan bentuk punggung hidung
f.     Mencegah gangguan pertumbuhan hidung

2.9.2 Penatalaksanaan Medis
a.    Deviasi
Tindakan yang dilakukan pada deviasi septum biasanya dengan septoplasty. Selain itu seiring dengan perkembangan bedah plastic untuk komestika, maka dapat dilakukan rhinoplasty. Rhinoplasty adalah operasi plastic pada hidung. Ada 2 macam :
§  Augmentasi rhinoplasty
Penambahan pada hidung. Yang harus diperhatikan tidak boleh menambahkan injeksi silicon. Yang boleh digunakan adalah bahan dari luar, misalnya silicon padat maupun bahan dari dalam tubuh sendiri misal tulang rawan, flap kulit/dermatograft.
§  Reduksi rhinoplasty : pengurangan pada hidung.
b.    Bleeding
Terjadi bleeding karena lacerasi mucosal sebaiknya dihentikan 24 jam dengan nasal packing atau jika persisten dan banyak dilakukan dengan membuka arteri sphenopalatine atau arteri ethmoidal anterior. Tempat terjadinya bleeding seharusnya diidentifikasi dan jika dari sphenopalatine maka eksplorasi septal dikeluarkan dan ketika arteri dibebaskan dari segmen fraktur biasanya dihentikan dengan packing (balutan). Jika arteri ethmoidal masih terjadi bleeding setelah fraktur ethmoidal maka dilakukan ‘clip’ dengan ethmoid eksternal yang sesuai.
c.    Saddling
Biasanya terjadi pada fraktur kelas 3 dan hasilnya adalah kegagalan untuk mengekstrak tulang nasal dari bawah tulang frontal atau terjadi malunion tulang nasal yang disebabkan fraktur laybirith ethmoidal.
d.   Kebocoran cairan serebrospinal
Ini jarang terjadi. Ini hanya akan terjadi jika fragmen tulang menginsersi ke dalam area dural tear (air mata) maka akan terjadi kebocoran. Tindakan yang dilakukan dengan craniotomy frontal. Perlu diperhatikan juga bahwa kebocoran bisa terjadi karena komplikasi dari meningitis sehingga perlu diobservasi kondisi pasien post trauma dan periode discharge. Penanganan dengan antibiotic prophylactic perlu dilakukan.
e.    Komplikasi orbital
Tindakan dacryocystorrhinostomy dilakukan untuk mengatasi masalah.
Anamnesis + pemeriksaan fisik
·         Pasca trauma
·         Deformitas
·         Epitaksis
·         Tensi normal/turun                                    TRAUMA TERTUTUP
·         Tidak ada edema              reposisi segera
·         Edema     reposisi setelah edema hilang
                                                TINDAKAN SEGERA
Bebaskan jalan napas
TRAUMA HIDUNG                         Hentikan perdarahan  
Infuse bila perlu

TRAUMA TERBUKA
Pemeriksaan penunjang                                                           eksplorasi dan reposisi
·         Foto rontgen tulang hidung
·         CT scan bila perlu
 


2.9.3  Reposisi fraktur nasal
Reposisi fraktur nasal adalah tindakan melakukan pengembalian dari fragmen tulang nasal yang mengalami patah tulang kembali ke kedudukan semula.
Indikasi operasi                         : deformitas
Kontra indikasi operasi  : Tidak ada kontra indikasi operasi fraktur nasal
Diagnosis banding         : Fraktur naso etmoidalis kompleks
  Fraktur maksila
Pemeriksaan penunjang : foto nasal, untuk menyingkirkan diagnosis banding dengan
   foto waters
Menjelang operasi :
a.    Penjelasan kepada penderita dan keluarganya mengenai tindakan operasi yang akan dijalani serta resiko komplikasi disertai dengan tandatangan persetujuan dan permohonan dari penderita untuk dilakukan operasi (Informed consent).
b.    Memeriksa dan melengkapi persiapan alat dan kelengkapan operasi. Instrumen yang digunakan untuk reduksi tertutup adalah elevator Boies atau Ballenger, forcep Asch dan Walsham.
c.    Penderita puasa minimal 6 jam sebelum operasi .
d.   Antibiotika profilaksis, Cefazolin atau kombinasi Clindamycin dan Garamycin, dosis menyesuaikan untuk profilaksis.

2.9.3.1 Tekhnik operasi
a.    Reduksi tertutup
Pembiusan dengan anestesi umum. Posisi pasien terlentang, dikerjakan di kamar operasi dengan anestesi general atau lokal. Disinfeksi lapangan operasi dengan larutan hibitan-alkohol 70% 1:1000. Lapangan operasi dipersempit dengan linen steril.
b.      Reduksi Terbuka
Penderita dalam anestesi umum dengan pipa orotrakheal, posisi telentang dengan kepala sedikit ekstensi. Desinfeksi lapangan operasi dengan larutan Hibitane dalam alkohol 70% 1: 1000, seluruh wajah terlihat. Persempit lapangan operasi dengan menggunakan kain steril



2.9.3.2 Komplikasi operasi
            Komplikasi awal :
a.         Hematoma
Hematom cukup serius dan membutuhkan drainase. Harus dicari adanya hematom septal pada setiap kasus trauma septal karena kondisi ini menyebabkan timbulnya infeksi sehingga kartilago septal hilang dan akhirnya terbentuk deformitas pelana. Hematom septal harus dicurigai jika didapati nyeri dan pembengkakan yang menetap; komplikasi ini perlu diperhatikan pada anak-anak. Splint silastic dapat digunakan untuk mencegah reakumulasi darah pada tempat hematom.
b.      Epitaksis
Epistaksis biasanya sembuh spontan tapi jika kambuh kembali perlu dikauter, tampon nasal atau ligasi pembuluh darah. Perdarahan anterior karena laserasi arteri etmoid anterior, cabang dari arteri optalmikus (sistem karotis interna). Perdarahan dari posterior dari arteri etmoid posterior atau dari arteri sfenopalatina cabang nasal lateral, dan mungkin perlu ligasi arteri maksila interna untuk menghentikannya. Jika menggunakan tampon nasal, tidak perlu terlalu banyak, karena dapat mempengaruhi suplai darah pada septum yang mengalami trauma sehingga menyebabkan nekrosis.
c.       Infeksi
Infeksi tidak umum terjadi, tapi antibiotik profilaksis penting untuk pasien yang mempunyai penyakit kelemahan kronis, immuno-compromised dan dengan hematom septal.
d.      Kebocoran liquor
Kebocoran liquor jarang dan disebabkan fraktur ‘cribriform plate’ atau dinding posterior sinus frontal. Kebocoran kulit cukup diobservasi selama 4 sampai 6 minggu dan biasanya terjadi penutupan spontan. Konsultasi bedah saraf.
Komplikasi lanjut :
Komplikasi ini berupa obstruksi jalan nafas, fibrosis/kontraktur, deformitas sekunder, synechiae, hidung pelana dan perforasi septal. Penatalaksanaan terbaik dari komplikasi ini adalah dengan mencegah terjadinya komplikasi itu sendiri.



2.9.3.3 Perawatan Paska bedah
a.    Infus Ringer Laktat / Dekstrose 5 % 1 : 4 dilanjutkan selama 1 hari
b.    Antibitika profilaksis diteruskan setiap 8 jam , sampai 3 kali pemberian .
c.    Analgetika diberikan kalau perlu
d.   Penderita sadar betul boleh minum sedikit , sedikit
e.    Bila 8 jam kemudian tidak apa apa boleh makan bubur ( lanjutkan 1 minggu )
f.     Perhatikan posisi tidur , jangan sampai daerah operasi tertekan.
g.    Rawat luka pada hari ke 2 – 3 , angkat jahitan hari ke-7.

2.10 Asuhan Keperawatan
 2.10.1 Pengkajian
Hidung diperiksa ke dalam untuk menyingkirkan kemungkinan dimana cedera dapat diperburuk oleh fraktur septum nasal dan adanya hematoma submukosa septal. Jika terjadi hematoma dan tidak dialirkan, hematoma ini pada akhirnya akan menjadi abses yang menghancurkan kartilago septum. Deformitas pelana hidung akan terjadi.
     Segera setelah cedera biasanya terjadi perdarahan banyak dari hidung eksternal dan internal ke dalam faring. Terdapat pembengkakan yang jelas pada jaringan lunak yang berdekatan dengan hidung dan seringkali deformitas tertentu. Oleh karena pembengkakan dan perdarahan, diagnosis yang akurat dapat ditegakkan hanya setelah pembengkakan menghilang.
     Cairan jernih yang mengalir dari salah satu nostril menandakan fraktur lempeng kribrifomis dengan kebocoran cairan serebrospinal. Karena cairan serebrospinal mengandung glukosa, cairan ini dapat dengan mudah dibedakan dari mukus hidung dengan menggunakan dipstick. Biasanya, inspeksi dan palpasi yang cermat akan menemukan setiap deviasi tulang atau gangguan pada kartilago hidung dan membantu menyingkirkan perluasan fraktur ke dalam tulang tengkorak.

2.10.2 Diagnosa Keperawatan
Pre operasi :
1.    Nyeri akut berhubungan dengan agen fisik
2.    Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan deformitas tulang

Post operasi :
1.      Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan insisi bedah
2.      Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi
3.      Gangguan gambaran diri berhubungan dengan injury/trauma dan pembedahan.

2.10.3  Intervensi Keperawatan
Perawat menginstruksikan klien untuk memasang kantung es pada hidung selama 20 menit sebanyak 4 kali sehari sampai pembengkakan menghilang. Pasien yang mengalami perdarahan dari hidung (epitaksis) karena cedera untuk alasan yang tidak jelas biasanya ketakutan dan gelisah. Penggunaan sumbatan untuk menghentikan perdarahan biasnya tidak nyaman; obstruksi jalan napas nasal oleh penyumbat mendorong pasien untuk bernapas melalui mulut. Hal ini menyebabkan membran mukosa mulut menjadi kering. Bilas mulut kan membantu melembabkan membran mukosa dan untuk mengurangi bau serta rasa dari darah yang mengering dalam orofaring dan nasofaring.







1 komentar:

  1. apakah tulang hidung yang sudah patah selama 2 bulan dapat di operasi dan kembali seperti semula algi?

    BalasHapus