BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan jiwa merupakan kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungan, sebagai perwujudan keharmonisan fungsi mental dan kesanggupannya menghadapi masalah yang biasa terjadi, sehingga individu tersebut merasa puas dan mampu (Rasmun, 2001).
Kesehatan jiwa seseorang selalu dinamis dan berubah setiap saat serta dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: kondisi fisik (somatogenik), kondisi perkembangan mental-emosional (psikogenik) dan kondisi dilingkungan social (sosiogenik). Ketidakseimbangan pada salah satu dari ketiga faktor tersebut dapat mengakibatkan gangguan jiwa (Maramis,2004).
Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2000) adalah suatu perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan peran sosial. WHO memperkirakan saat ini di seluruh dunia terdapat 450 juta orang mengalami gangguan jiwa, di Indonesia sendiri pada tahun 2006 diperkirakan26 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa dengan ratio populasi 1 berbanding 4 penduduk. Departemen Kesehatan RI mengakui sekitar 2,5 juta orang di negeri ini telah menjadi pasien rumah sakit jiwa (Setiawan, 2009.http//www. Gizi.net, diperolehtanggal 1 Jun2010).
Gangguan jiwa tidak dapat disembuhkan secara maksimal sebagaimana keadaan sebelum sakit, beberapa pasein meninggalkan gejala sisa seperti adanya ketidakmampuan berkomunikasi dan mengenali realitas, serta perilaku kekanak-kanakan yang berdampak pada penurunan produktivitas hidup. Hal ini ditunjang dengan data Bank Dunia pada tahun2 001 di beberapa Negara yang menunjukkan bahwa hari-hari produktif yang hilang
Atau Dissabiliiy AdjustedLife Years (DALY's) sebesar 8,1 % dari Global Burden of Disease, disebabkan oleh masalah kesehatan jiwa (Setiawan, 2009. http//www. Gizi.net, diperolehtanggal 1 Juni 2010).
Sebagai salah satu upaya untuk mengurangi penurunan produktifitas maka pada pasien yang dirawat inap dilakukan upaya rehabilitasi sebelum klien dipulangkan dari Rumah Sakit. Tujuannya untuk mencapai perbaikan fisik dan mental sebesar-besarnya, penyaluran dalam pekerjaan dengan kapasitas maksimal dan penyesuaian diri dalam hubungan perseorangan dan socials ehingga bisa berfungsi sebagai anggota masyarakat yang mandiri dan berguna (Nasution,2006).
Pelaksanaan rehabilitasi dilakukan oleh multiprofesi yang terdiri dari dokter, perawat, psikologi, sosial worker serta okupasi therapist yang memiliki peran dan fungsi masing-masing. Dokter memberikan terapi somatik, psikolog melakukan pemilahan klien berdasarkan hasil psikotest, kemampuan serta minat klien, social worker menjadi penghubung antara klien dengan keluarga dan lingkungan serta okupasi terapis memberikan terapi kerja bagi pasien. Perawat sendiri mempunyai peran yang sangat penting dalam pelaksanaan rehabilitasi baik dalam tahap persiapan, pelaksanaan maupun pengawasan. Sebagai sebuah team, perawat memberi peran yang sangat penting dalam mengkoordinasikan berbagai cara dan kerja yang dilakukan semua anggota team sesuai dengan tujuan yang akan dicapai antara klien dan team kesehatan sehingga rehabilitasi berjalan sesuai tujuan yang diharapkan menurut para perawat sistem dan budaya kerja yang ada tidak memungkinkan untuk melaksanakan peran tersebut, sehingga perawat mengerjakan tugas multiprofesi sekaligus dari mulai dokter, psikolog sosial worker, tenaga gizi sampai tenaga pertanian. Berdasarkan fenomena tersebut peneliti merasa tertarik untuk melihat peran perawat dalam psikofarmaka.
1.2 TUJUAN PENULISAN
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu berfikir kritis dan analisis dalam memahami peran perawat dalam terapi psikofarmaka.
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Mahasiswa memahami pengertian Psikofarmaka
b. Mahasiswa memahami klasifikasi obat-obatan psikofarmaka
c. Mahasiswa memahami peran perawat dalam pemberian obat
1.3 METODE PENULISAN
Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode deskriptif yaitu dengan penjabaran masalah-masalah yang ada dan menggunakan studi kepustakaan dari literatur yang ada, baik di perpustakaan maupun internet.
1.4 SISTEMATIKA PENULISAN
Makalah ini terdiri dari tiga bab yang disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut :
· Bab I : Pendahuluan terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan
· Bab II : Tinjauan teoritis terdiri dari pengertian psikofarmaka, klasifikasi obat-obatan psikofarmaka dan peran perawat dalam psikofarmaka
· Bab III : Penutup terdiri dari kesimpulan dan saran
BAB II
KONSEP TEORITIS
2.1 PENGERTIAN
Psikofarmaka adalah obat- obatan yang digunakan untuk klien dengan gangguan mental. Psikofarmaka termasuk obat-obatan psikotropik yang bersifat Neuroleptik (bekerja pada sistim saraf ).Pengobatan pada gangguan mental bersifat komprehensif, yang meliputi :
1. Teori biologis (somatik),mencakup pemberian obat psikotik dan Elektro Convulsi Therapi (ECT).
2. Psikoterapeutik.
3. Terapi Modalitas.
Psikofarmakologi adalah komponen kedua dari management psikoterapi. Perawat perlu mamahami konsep umum psikofarmaka. Beberapa hal yang termasuk Neurotransmiter adalah Dopamin,Neuroeprineprin, Serotonin dan GABA (Gama Amino Buteric Acid),dll. Meningkatnya dan menurunnya kadar / konsentrasi neurotransmiter akan menimbulkan kekacauan atau gangguan mental. Obat – obatan psikofarmaka efektif untuk mengatur keseimbangan Neurotransmiter.
2.2 KLASIFIKASI
Menurut Rusdi Maslim yang termasuk obat-obatan psikofarmaka adalah golongan :
2.2.1 Anti Psikotik, pemberian sering disertai pemberian anti perkinson
2.2.2 Anti Depresi
2.2.3 Anti Maniak
2.2.4 Anti Cemas ( Anti Ansietas)
2.2.5 Anti Insomnia
2.2.6 Anti Obsesif – Kompulsif
2.2.7 Anti Panik
Yang paling sering digunakan oleh klien jiwa :
2.2.7.1 ANTI PSIKOTIK
Anti Psikotik termasuk golongan Mayor Transquilizer atau Psikotropik : Neuroleptika.
· Mekanisme kerja : menahan kerja reseptor Dopamin dalam otak (di ganglia dan subtansia nigra) pada sistem limbik dan sistim ekstrapiramidal.
· Efek farmakologi : sebagai penenang, menurunkan aktifitas motorik, mengurangi insomnia sangat efektif mengatasi Delusi, Halusinasi, Ilusi dan Gangguan Proses Berpikir.
· Indikasi pemberian anti psikototik : Pada semua jenis Psikosa, kadang untuk gangguan Maniak dan Paranoid.
· Efek samping pada anti psikotik : Efek Samping pada Sistim Syaraf ( Ektrapyramidal Side Efect / EPSE/ EPS / Ekstrapyramidal Syndrome ) :
a. PARKINSON
Efek samping ini muncul 1 - 3 minggu pemberian obat (tergantung respon klien). Terdapat TRIAS gejala parkinsonisme ;
· TREMOR : sering terjadi, dan paling jelas pada istirahat.
· BRADIKINESIA : muka seperti topeng, berkurangnya gerakan reiprokal pada saat berjalan.
· RIGITAS : gangguan tonus otot ( kaku )
b. Reaksi DISTONIA kontraksi otot singkat atau bisa juga lama. Tanda - tanda; muka menyeringai, gerakan tubuh dan anggota tubuh tidak terkontrol.
c. AKATHISIA
Ditandai dengan perasaan subyektif dan obyektif dari kegelisahan, seperti adanya perasaan cemas, tidak mampu santai, gugup, langkah bolak - balik dan gerakan mengguncang pada saat duduk. Ketiga efek samping diatas bersifat akur dan bersifat Reversible (bisa hilang atau kembali normal).
d. TARDIVE DYSKENESIA
Merupakan efek samping yang timbulnya lambat, terjadi setelah pengobatan jangka panjang dan bersifat Ireversible (susah hilang/ menetap).Berupa gerakan Involunter yang berulang pada lidah, wajah, mulut / rahang, anggota gerak seperti jari dan ibu jari, dan gerakan tersebut akan hilang pada saat tidur. Efek samping pada sistim saraf perifer atau CHOLINERGIC Side Efect. Ini terjadi karena penghambatan pada reseptor Asetilkolin. Yang termasuk Efek Samping Kolinergic adalah ;
o Mulut kering
o Kontipasi
o Pandangan kabur, akibat midriasis pupil dan Sikloplegia (pariese otot – otot siliaris) menyebabkan Presbiopia
o Hipotensi Orthostatik, akibat penghambatan reseptor Adrenergik
o Kongesti / sumbatan Nasal
Jenis obat anti psikotik yang sering di gunakan :
o Chlorpromazine ( CPZ )
o Halloperidol ( HALOP )
o Beberapa Komposisi Haloperidol dalam sediaan injeksi adalah : LODOMER , SERENASE , GOVOTIL.(sering dilapangan)
2.2.7.2 ANTI PERKINSON
· Mekanisme kerja : Meningkatkan reseptor Dopamin, untuk mengatasi gejala parkinson sebagai akibat penggunaan obat anti psikotik.
· Efek samping : Sakit kepala , mual , muntah dan hypotensi
· Jenis obat yang di gunakan : Tryhexyfenidil (THD)
2.2.7.3 ANTI DEPRESAN
HIPOTESIS : Syndroma Depresi disebabkan oleh defesiensi salah satu / beberapa aminergic neurotansmiter (seperti Noradrenalin, Serotonin, Dopamin) pada sinaps neuron di SSP, khususnya pada sistim Limbik.
Mekanisme kerja obat :
· Meningkatkan sensivitas terhadap aminergik neurotransmiter
· Menghambat reuptake aminergik neurotansmiter
· Menghambat penghancuran oleh enzim MAO (Mono Amine Oxidase) sehingga terjadi peningkatan jumlah aminergik neurotransmiter pada neuron di SSP.
Efek farmakologi : Mengurangi gejala Depresi dan sebagai Penenang.
Jenis obat yang di gunakan, yang sering di gunakan di lapangan adalah :
· Trisiklik
· MAO Inhibitor
· Aminitriptylin.
Efek samping : yaitu efek samping Kolonergik (efek samping terhadap Sistim Syaraf Perifer) yang meliputi Mulut kering , penglihatan kabur , Konstipasi , Hipotensi Orthostatik.
2.2.7.4 OBAT ANTI MANIA / LITHIUM CARBONATE
· Mekanisme kerja : Menghambat pelepasan Serotonin dan mengurangi sensivitas dari reseptor Dopamin.
· Hipotesi : Pada Mania terjadi peluapan aksi reseptor amine.
· Efek farmakologi : Mengurangi Agresivitas, Tidak menimbulkan efek sedatif, Mengoreksi / Mengontrol pola tidur, iritable dan adanya Flight Of Idea. Pada Mania dengan kondisi berat pemberian anti mania di kombinasi dengan obat anti psikotik.
· Efek samping : Efek Neurologik ringan seperti Fatigue, Lethargia, Tremor di tangan, terjadi pada awal terapi dapat juga terjadi diarea, nausea.
· Efek toksik : Pada Ginjal ( poliuri, edema ), peningkatan jumlah Lithium, sehingga menambah keadaan oedema. Sedangkan pada SSP ( tremor, kurang koordinasi, Nistagmus dan disorentasi.
2.2.7.5 ANTI CEMAS / ANSIETAS
Termasuk Minor Transquilizer, Jenis obat antara lain Diazepam (CHLORDIAZEPOXIDE)
2.2.7.6 OBAT ANTI INSOMNIA : Phenobarbital
2.2.7.7 OBAT ANTI OBSESIF KOMPULSIF : Clomipramine
2.2.7.8 OBAT ANTI PANIK : Imipramine
2.3 PERAN PERAWAT DALAM PEMBERIAN OBAT
2.3.1 Pengumpulan data sebelum pengobatan yang meliputi :
· Diagnosa Medis
· Riwayat Penyakit
· Hasil Pemeriksaan Laborat ( yang berkaitan )
· Jenis obat yang digunakan ,dosis,waktu pemberian
· Program terapi yang lain
· Mengkombinasi obat dengan terapi Modalitas
· Pendidikan kesehatan untuk klien dan keluarga tentang pentingnya minum obat secara teratur dan penanganan efek samping obat.
· Monitoring efek samping penggunaan obat
2.3.2 Melaksanakan Prinsip Pengobatan Psikofarmaka :
a. PERSIAPAN
· Melihat order pemberian obat di lembaran obat ( di status )
· Kaji setiap obat yang akan diberikan termasuk tujuan, cara kerja obat, dosis efek samping dan cara pemberian.
· Kaji pengetahuan klien dan keluarga tentang obat
· Kaji kondisi klien sebelum pengobatan
b. Lakukan minimal prinsip lima benar
c. Laksanakan program pemberian obat
· Gunakan pendekatan tertentu
· Bantu klien minum obat dan jangan di tinggal
· Pastikan bahwa obat telah terminum
· Bubuhkan tanda tangan pada dokumentasi pemberian obat , sebagai aspek LEGAL !!
2.3.2 Laksanakan program pengobatan berkelanjutan, melalui program rujukan
2.3.4 Menyesuaikan dengan terapi non farmakoterapi
2.3.5 Turut serta dalam penelitian tentang obat psikofarmaka
Setelah seorang perawat melaksanakan terapi psikofarmaka maka tugas terakhir yang penting harus di lakukan adalah evaluasi. Dikatakan reaksi obat efektif jika :
a. Emotional Stabil
b. Kemampuan berhubungan interpersonal meningkat
c. Halusinasi,Agresi,Delusi,Menarik diri menurun
d. Prilaku Mudah di arahkan
e. Proses Berpikir ke Arah Logika
f. Efek Samping Obat
g. Tanda – tanda Vital
Perawat harus mempunyai cukup pengetahuan tentang strategi psikofarmakologis yang tersedia, tetapi informasi ini harus digunakan sebagai satu bagian dari pendekatan holistic pada asuhan pasien. Peran perawat meliputi hal – hal sebagai berikut :
1) Pengkajian pasien
2) Pengkajian pasien memberikan landasan pandangan tentang masing – masing pasien.
3) Koordinasi modalitas terapi
4) Koordinasi ini mengintegrasikan berbagai terapi pengobatan dan sering kali membingungkan bagi pasien.
5) Pemberian agens psikofarmakologis
6) Program pemberian obat dirancang secara professional dan bersifat individual.
7) Pemantauan efek obat
8) Termasuk efek yang diinginkan maupun efek samping yang dapat dialami pasien.
9) Penyuluhan pasien
10) Memungkinkan pasien untuk meminum obat dengan aman dan efektif.
11) Program Rumatan obat
12) Dirancang untuk mendukung pasien di suatu tatanan perawatan tindak lanjut dalam jangka panjang.
13) Partisipasi dalam penelitian klinis antardisiplin tentang uji coba obat
14) Perawat merupakan anggota tim yang penting dalam penelitian obat yang digunakan untuk mengobati pasien gangguan jiwa.
15) Kewenangan untuk memberi resep
16) Beberapa perawat jiwa yang memenuhi persyaratan pendidikan dan pengalaman sesuai dengan undang – undang praktik negaranya boleh meresepkan agens farmakologis untuk mengobati gejala dan memperbaiki status fungsional pasien yang mengalami gangguan jiwa.
2.3.3 PENGKAJIAN
Sebelum melakukan pengobatan psikofarmakologis, evaluasi psikiatri yang lengkap harus dilakukan, mencakup hal – hal sebagai berikut :
2.3.3.1 Pemeriksaan fisik
2.3.3.2 pemeriksaan lab
2.3.3.3 Evaluasi status mental
2.3.3.4 Riwayat medis dan psikiatri
2.3.3.5 Riwayat medikasi
2.3.3.6 Riwayat keluarga
2.3.4 PERAN PERAWAT PADA TERAPI SOMATIK
Terapi yang diberikan untuk mengubah perilaku maladaptif menjadi perilaku yang adaptif dengan tindakan yang ditujukan pada fisik klien walaupun yang diberikan perlakuan fisik tetapi target terapi perilaku klien
2.3.4.1 Pengikatan
Terapi dengan menggunakan alat-alat mekanik atau manual untuk membatasi mobilitas fisik klien. Tujuannya melindungi klien dan orang lain dari cidera fisik, khususnya bila terapi lain seperti perubahan lingkungan. dan strategi perilaku sudah tidak mempan.
Indikasi :
Klien yang tidak mampu mengendalikan perilakunya dan :
a. Beresiko mencederai diri dan orang lain
b. Mengalami toleransi dan tidak responsif lagi
c. Klien bingung yang beresiko cidera atau jatuh
d. Klien membutuhkan penurunan stimulus dan istirahat
e. Klien membutuhkan bantuan mendapat rasa aman & pengendalian dirinya
Pengikatan membatasi mobilitas fisik tetapi bukan untuk menghukum klien. Harus disadari klien pengikatan membantu klien mengendalikan perilaku yang tidak dapat dikendalikan sendiri.
Tindakan keperawatan :
2.3.4.1.1 Hargai hak azasi klien, lakukan :
a. Identifikasi kejadian pencetus
b. Observasi
c. Buat rencana tindakan sesuai standar dan dokument
2.3.4.1.2 Lindungi klien dari cidera fisik akibat pengikatan
2.3.4.1.3 Sediakan lingkungan yang aman
2.3.4.1.4 Jaga integritas biologis klien, dengan :
a. Cek tanda vital scr rutin
b. Mandikan & jaga kulit ttp bersih & kering
c. Penuhi kebutuhan toileting
d. Atur suhu ruangan tetap nyaman
e. Beri posisi anatomis
f. Periksa daerah ikatan
g. Ganti posisi klien minimal tiap 2 jam
2.3.4.1.5 Jaga harga diri klien, dengan :
a. Pertahankan privacy klien
b. Jangan memberi penjelasan yang bersifat merendahkan
c. Tetap mempertahankan komunikasi verbal
d. Staf yang merawat harus konsisten
e. Staf yang menangani berjenis kelamin sama
f. Lepaskan ikatan sesuai indikasi. Protokol pelapasan ikatan :
1. Saat masih berbaring monitor tanda-tanda vital. Pastikan klien sudah dapat mengendalikan perilakunya
2. Pastikan jumlah perawat cukup
3. Lepaskan ikatan mulai dari ekstremitas yang tdk dominan
4. Anjurkan klien untuk mobilisasi aktif
5. Anjurkan klien bergerak secara bertahap
6. Observasi perilaku klien
7. Dokumentasikan kondisi klien
2.3.4.2 Isolasi
· Bentuk terapi dgn menempatkan klien sendiri di ruang tersendiri
· Di indikasikan : klien yang tidak mampu mengendalikan perilakunya dan tidak bisa dikendalikan dengan cara lain
· Tidak dianjurkan klien yang beresiko bunuh diri, klien yang agitasi disertai gangguan pengaturan suhu tubuh akibat obat serta klien dengan perilaku sosial menyimpang.
Prosedur Isolasi :
1. Tunjuk seorang pemimpin
2. Perlihatkan kepada klien kekuatan yang ada
3. Buat rancangan yang tepat, siapkan lingkungan ruangan
4. Komunikasikan antar perawat
5. Tangkap klien tanpa menyakiti
6. Kendalikan perilaku agresif klien
7. Pindahkan klien ke ruang isolasi
8. Ganti pakaian dengan yang aman dan nyaman
9. Pindahkan benda-benda yang membahayakan klien
10. Buat rencana askep lanjutan
11. Tetap pertahankan kontak dgn klien
Setelah di ruang isolasi :
1. Bantu pemenuhan KDM klien
2. Observasi sesering mungkin
3. Pertahankan komunikasi verbal
4. Catat dan dokumentasikan hasil observasi
5. Berikan umpan balik tentang perilaku klien
6. Tetap berikan terapi yang lain
7. Segera melepaskan klien dr ruang isolasi jika perilakunya mulai terkendali
2.3.4.3 ECT ( Elektro Confulsive Therapy )
Bentuk terapi dengan menimbulkan kejang grand mall, dimana mengalirkan arus listrik mll elektroda yg ditempelkan pd pelipis klien. Awalnya ditujkan untuk klien skizopreni, tetapi lebih cocok untuk gangguan afektif. Kontra indikasi :
1. Tumor intra kranial
2. Kehamilan
4. Osteoporosis
5. Infarc miokard
6. Asthma bronchiale
Peran perawat
1. Persiapan :
a. Tangani kecemasan klien
b. Lakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium
c. Mempersiapkan inform concent
d. Puasakan klien minima 6 jam
e. Hentikan pemberian obat sblm ECT
f. Lepaskan gigi palsu, kontak lens, dll
g. Memakaikan pakaian yg longgar
h. Membantu mengosongkan blass
2. Pelaksanaan :
a. Baringkan klien
b. Siapkan alat
c. Pasang bantalan gigi
d. Sementara ECT dilakukan, tahan persendian dgn supel
e. Setelah selesai, berikan bantuan nafas
3. Setelah ECT :
a. Observasi TTV sampai stabil
b. Jaga keamanan klien
c. Bila sudah sadar, orientasikan klien
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Salah satu somatic terapi ( terapi fisik ) pada klien gangguan jiwa adalah pemberian obat psikofarmaka, Psikofarmaka adalah sejumlah besar obat farmakologis yang digunakan untuk mengobati gangguan mental, obat-obatan yang paling sering digunakan di Rumah Sakit Jiwa adalah Chlorpromazine, Halloperidol dan Trihexypenidil. Obat-obatan yang diberikan selain dapat membantu dalam proses penyembuhan pada klien gangguan jiwa, juga mempunyai efek samping yang dapat merugikan klien tersebut, seperti paskinsonisme, pusing, sedasi, pingsan, hipotensi, pandangan kabur dan konstipasi, untuk menghindari hal tersebut perawat sebagai tenaga kesehatan yang langsung berhubungan dengan pasien selama 24 jam, harus mampu mengimbangi terhadap perkembangan mengenai kondisi klien, terutama efek dari pemberian obat psikofarmaka.
Berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Pusat Bandung, ternyata perawat tidak melakukan asuhan keperawatan pemberian obat secara tepat, misalkan ; Perawat hanya memanggil klien satu persatu tanpa cek kondisu umum klien, misal pemeriksaan tekanan darah dll, bagi klien yang dapat berjalan lalu dibagikan obat tersebut tanpa tindak lanjut monitoring efek dari obat tersebut, ada yang dibuang, disembunyikan atau dimakan tanpa diketahui sejauh mana efek obat tersebut. Akibat kurang intensif nya observasi dalam pemberian obat mengakibatkan beberapa klien mengalami efek samping seperti ; gatal-gatal, bahkan ada yang sampai melepuh yang kemudian dirujuk ke Rumah sakit Umum Hasan Sadikin bandung, penglihatan kabur yang disertai dengan mata menonjol. Derajat hubungan antara pengetahuan perawat tentang psikofarmaka denan pelaksanaan asuhan keperawatan dalam pemberian obat termasuk kategori sedang, sehingga dapat diartikan bahwa kualitas pelaksanaan asuhan keperawatan dalam pemberian obat sebagian dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan .
Dengan demikian berarti bahwa pengetahuan hanya merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan kualitas pelaksanaan asuhan keperawtan dalam pemberian obat pada klien gangguan jiwa di RSJP Bandung, dimana masih ada faktor lain yang mempengaruhi seperti : sikap perawat terhadap pelaksanaan, protap pelaksanaan dan kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi pelaksanaan asuhan keperawatan dalam pemberian obat.
3.2 SARAN
Perawat jiwa yang ada di rumah sakit (rumah sakit jiwa, rumah sakit umum, panti kesehatan jiwa, yayasan yang merawat pasien gangguan jiwa), pengajar keperawatan jiwa di sekolah keperawatan, perawat jiwa yang ada di struktur departemen kesehatan dan dinas kesehatan diharapkan bersatu padu untuk menyuarakan kesehatan jiwa pada setiap desempatan mulai dari sekarang lepada setiap orang yang ditemui. Kegiatan yang dilakukan berupa advocacy and action.
DAFTAR PUSTAKA
PENDAHULUAN. PSIKOFARMAKA - FIK UNIVERSITAS PADJADJARAN.http://www.pendahuluan-psikofarmaka.blogspot.com/
http://www.docstoc.com/docs/51615838/PERAN-PERAWAT-PADA-REHABILITASI-KLIEN-GANGGUAN-JIWA
Keliat, B.A, dkk. (2007). Advance Course Community Mental Health Nursing: Manajemen community mental health nursing district level. Jakarta: belum diterbitkan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar